BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Ibadah
Menurut bahasa, kata ibadah berarti patuh
(al-tha’ah), dan tunduk (al-khudlu). Ubudiyah artinya tunduk dan
merendahkan diri . Menurut al-Azhari, kata ibadah tidak dapat disebutkan
kecuali untuk kepatuhan kepada Allah.
Ini sesuai dengan pengertian yang di kemukakan oleh
al-syawkani, bahwa ibadah itu adalah kepatuhan dan perendahan diri yang paling
maksimal.
Secara etimologis diambil dari kata ‘ abada, ya’budu,
‘abdan, fahuwa ‘aabidun. ‘Abid, berarti hamba atau budak, yakni seseorang
yang tidak memiliki apa-apa, harta dirinya sendiri milik tuannya, sehingga
karenanya seluruh aktifitas hidup hamba hanya untuk memperoleh keridhaan
tuannya dan menghindarkan murkanya.
Manusia adalah hamba Allah “Ibaadullaah” jiwa raga hanya
milik Allah, hidup matinya di tangan Allah, rizki miskin kayanya ketentuan
Allah, dan diciptakan hanya untuk ibadah atau menghamba kepada-Nya:
(الذاريات: 56) لِيَعْبُدُونِ إِلاَّ وَاْلإِنْسَ الْجِنَّ خَلَقْتُ وَمَا
“Dan Aku
tidak diciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku.” (al-Zariyat/51:56)
Menurut
istilah syara’ pengertian ibadah dijelaskan oleh para ulama sebagai berikut:
Menurut Ibnu Taimiyah dalam
kitabnya al-ubudiyah, memberikan penjelasan yang cukup luas tentang
pengertian ibadah. Pada dasarnya ibadah berarti merendahkan diri (al-dzull).
Akan tetapi, ibadah yang diperintahkan agama bukan sekedar taat atau perendahan
diri kepada Allah. Ibadah itu adalah gabungan dari pengertian ghayah al-zull
dan
ghayah al-mahabbah. Patuh
kepada seseorang tetapi tidak mencintainya, atau cinta tanpa kepatuhan itu
bukan ibadah. Jadi, cinta atau patuh saja belum cukup disebut ibadah. Seseorang
belum dapat dikatakan beribadah kepada Allah kecuali apabila ia mencintai
Allah, lebih dari cintanya kepada apapun dan memuliakan-Nya lebih dari segala
lainnya.
Menurut uraiannya, Ibnu Taimiyah sangat menekankan bahwa
cinta merupakan unsur yang sangat penting dan tidak dapat dipisahkan dari
pengertian ibadah. Menurutnya, agama yang benar adalah mewujudkan ubudiyah
kepada Allah dari segala seginya, yakni mewujudkan cinta kepada-Nya. Semakin
benar ubudiyah seseorang, semakin besarlah cintanya kepada Allah.
Dari beberapa keterangan yang dikutipnya, Yusuf al-Qardawi
menyimpulkan bahwa ibadah yang disyari’atkan oleh Islam itu harus memenuhi dua
unsur:
1.
Mengikat
diri (iltizam) dengan syari’at Allah yang diserukan oleh para rasul-Nya,
meliputi perintah , larangan, penghalalan, dan pengharaman sebagai perwujudan
ketaatan kepada Allah.
2.
Ketaatan
itu harus tumbuh dari kecintaan hati kepada Allah, karena sesungguhnya Dialah
yang paling berhak untuk dicintai sehubungan dengan nikmat yang diberikan.
Dalam pengertian yang luas ibadah meliputi segala yang
dicintai Allah dan diridhai-Nya, perkataan dan perbuatan
lahir dan batin. Termasuk di dalamnya shalat, puasa, zakat, haji, berkata benar
dll. Jadi meliputi yang fardhu, dan tathawwu’, muammalahbahkan akhlak
karimah serta fadhilah insaniyah. Bahkan lebih lanjut, Ibnu Taimiyah
menyatakan bahwa seluruh agama itu termasuk ibadah.
2.2 Ruang
Lingkup Ibadah
Islam
amat istimewa hingga menjadikan seluruh kegiatan manusia sebagai ibadah apabila
diniatkan dengan penuh ikhlas karena Allah demi mencapai keridhaan-Nya serta dikerjakan
menurut cara-cara yang disyariatkan oleh-Nya. Islam tidak membataskan ruang
lingkup ibadah kepada sudut-sudut tertentu saja. Seluruh kehidupan manusia
adalah medan amal dan persediaan bekal bagi para mukmin sebelum mereka kembali
bertemu Allah di hari pembalasan nanti. Ruang lingkup ibadah di dalam Islam
amat luas sekali. Setiap apa yang dilakukan baik yang bersangkut dengan
individu maupun dengan masyarakat adalah ibadah menurut Islam
asalkan memenuhi syarat-syarat tertentu.
Syarat-syarat
tersebut adalah seperti berikut:
1.
Amalan
yang dikerjakan hendaklah diakui Islam, bersesuaian dengan hukum-hukum syara’.
Adapun amalan-amalan yang diingkari oleh Islam dan ada hubungan dengan yang haram
dan maksiat, maka tidak dijadikan sebagai amalan ibadah.
2.
Amalan
tersebut dilakukan dengan niat yang baik bagi tujuan untuk memelihara
kehormatan diri, menyenangkan keluarga, memberi manfaat kepada umat dan
memakmurkan bumi sebagaimana yang dianjurkan oleh Allah.
3.
Amalan
tersebut harus dibuat dengan seindah-indahnya untuk menepati yang ditetapkan
oleh Rasulullah saw yang mafhumnya: “Bahwa Allah suka apabila seseorang dari
kamu membuat sesuatu kerja dengan memperindah kerjanya.”
Ketika membuat amalan tersebut hendaklah sentiasa menurut
hukum-hukum syara’ dan ketentuan batasnya, tidak menzalimi orang lain, tidak
khianat, tidak menipu dan tidak menindas atau merampas hak orang.
Tidak melalaikan ibadah-ibadah khusus seperti salat, zakat
dan sebagainya dalam melaksanakan ibadah-ibadah umum. Oleh itu ruang lingkup
ibadah dalam Islam sangat luas. Ia adalah seluas hidup seseorang Muslim dan
kesanggupan serta kekuatannya untuk melakukan apa saja amal yang diridhai oleh
Allah dalam jangka waktu tersebut.
2.3 Dasar-dasar
Ibadah
Ibadah harus dibangun atas tiga dasar. Pertama, cinta
kepada Allah dan Rasul-Nya dengan mendahulukan kehendak, perintah, dan menjauhi
larangan-Nya. Rasulullah saw. Bersabda,
“Ada
tiga hal yang apabila terdapat dalam seseorang niscaya ia akan mendapatkan
manisnya iman, yaitu bahwa Allah dan Rasul-Nya lebih ia cintai daripada yang
lain; bahwa ia tidak mencintai seseorang melainkan semata karena Allah; dan
bahwa ia membenci kembali kepada kekufuran setelah Allah menyelamatkannya,
sebagaimana ia membenci untuk dilemparkan ke dalam neraka.” (HR Bukhari dan
Muslim, dari Anas bin Malik)
Seorang
hamba harus memiliki tiga maqam cinta, yaitu:
1.
Maqam
takmil (level penyempurnaan). Hendaklah ia mencintai Allah dan Rasul-Nya
dengan puncak kesempurnaan cinta.
2.
Maqam
tafriq (level pembedaan). Hendaklah ia tidak mencintai seseorang melainkan
hanya karena Allah. Ia harus mampu membedakan mana yang dicintai dan yang
dibenci Allah, baik yang berkaitan dengan ucapan, perbuatan dan manusia.
3.
Maqam
daf’u al-naqidh (level penolakan atas lawan iman). Hendaknya ia membenci
segala sesuatu yang berlawanan dengan iman, sebagaimana ia membenci jika
dilemparkan ke dalam neraka.
Selanjutnya,
cinta harus ditandai dengan dua hal yaitu:
1.
Mengikuti
sunnah Rasulullah saw.
2.
Jihad
dan berjuang di jalan Allah dengan segala sesuatu yang dimilikinya.
Kedua, takut. Ia tidak merasa takut sedikit pun kepada
segala bentuk dan jenis makhluk selain kepada Allah. Dalam beribadah, ia harus
merasa takut apabila ibadahnya tidak diterima atau sekadar menjadi aktivitas
rutin yang tidak memiliki dampak positif sama sekali dalam kehidupannya. Maka,
dengan rasa takut kepada Allah, seorang hamba akan senantiasa khusuk di
hadapan-Nya ketika ia melakukan ibadah. Ia akan selalu memelihara dan menjaga
ibadahnya dari sifat riya’ yang sewaktu-waktu bisa menjadi virus ibadah.
Adapun rasa
takut kepada Allah SWT bias dilahirkan dari tiga hal:
·
Seorang
hamba mengetahui dosa-dosa dan keburukannya.
·
Seorang
hamba percaya dan yakin akan ancaman Allah terhadap orang-orang yang durhaka
kepada-Nya.
·
Hendaknya
hamba itu mengetahui dan meyakini, bahwa boleh jadi ia tidak akan pernah bisa
bertaubat dari dosa-dosanya.
Kuat lemahnya rasa takut kepada Allah dalam diri seseorang
bergantung pada kuat dan lemahnya ketiga hal tersebut. Rasa takut itu akan
memaksa seseorang untuk berlari kembali kepada Allah dan merasa tentram di
samping-Nya. Ia adalah rasa takut yang disertai dengan kelezatan iman,
ketenangan hati, ketentraman jiwa, dan cinta yang senantiasa memenuhi ruang hati.
Ketiga, harapan, yaitu harapan untuk memperoleh apa yang
ada di sisi Allah tanpa pernah merasa putus asa. Seorang hamba dituntut untuk
selalu berharap kepada Allah dengan harapan yang sempurna.
Seorang hamba harus senantiasa berharap kepada Allah agar
ibadahnya diterima. Ia tidak boleh memiliki perasaan bahwa semua ibadah yang
dilakukannya sangat mudah diterima oleh Allah SWT tanpa ada harapan dan
kecemasan. Begitu pula ia tidak boleh putus asa dalam mengharap rahmat dari
Allah.
Ketika ia menyadari kekurangannya dalam memenuhi
kewajiban-kewajiban kepada Allah, sebaiknya ia segera menyaksikan karunia dan
rahmat Allah. Sesungguhnya, rahmat-Nya jauh lebih
luas daripada segala sesuatu.
Ada beberapa
hal yang bisa menumbuhkan harapan dalam diri seseorang, yaitu:
·
Kesaksian
seorang hamba atas karunia, ihsan, dan nikmat Allah atas hamba-hambaNya.
·
Kehendak
yang jujur untuk memperoleh pahala dan kenikmatan yang ada di sisi-Nya.
·
Menjaga
diri dengan amal shaleh dan senantiasa berlomba-lomba dalam mengerjakan
kebaikan.
Ketiga dasar ibadah ini harus menyatu dalam diri seorang
hamba. Jika hilang salah satu dari ketiga hal tersebut, akan menyebabkan
kesalahan fatal dalam akidah dan tauhid. Beberapa ulama salaf berpendapat,
bahwa barangsiapa beribadah kepada Allah hanya dengan rasa cinta, maka ia
adalah zindiq. Dan barangsiapa yang beribadah kepada Allah hanya dengan rasa
harap, maka ia golongan Murji’ah, dan barang siapa yang beribadah kepada Allah
hanya dengan rasa takut, maka ia dari golongan Khawarij. Namun, barangsiapa
beribadah kepada Allah dengan rasa cinta, harap, dan takut, maka ia mukmin yang
mengesakan Allah.
2.4 Hakikat
dan Tujuan Ibadah
Hakikat ibadah menurut Imam Ibnu Taimiyah adalah sebuah
terminologi integral yang mencakup segala sesuatu yang dicintai dan diridhai
Allah baik berupa perbuatan maupun ucapan yang tampak maupun yang tersembunyi.
Dari definisi tersebut kita memahami bahwa cakupan ibadah
sangat luas. Ibadah mencakup semua sektor kehidupan manusia. Dari sini kita
harus memahami bahwa setiap aktivitas kita di dunia ini tidak boleh terlepas
dari pemahaman kita akan balasan Allah kelak. Sebab sekecil apapun aktivitas
itu akan berimplikasi terhadap kehidupan akhirat.[3]
Allah SWT
menjelaskan hal ini dalam firman-Nya.
(8) يَرَهُ شَرًّا ذَرَّةٍ مِثْقَالَ يَعْمَلْ وَمَنْ
(7) يَرَهُ خَيْرًا ذَرَّةٍ مِثْقَالَ يَعْمَلْ فَمَنْ
“Barangsiapa
yang mengerjakan kebaikan seberat zarrah pun niscaya dia akan melihat
(balasan)nya. Dan barangsiapa yang mengerjakan kejahatan sebesar zarrah pun,
dia akan melihat (balasan)nya pula.” (QS Az-Zalzalah 99: 7-8)
Pada suatu risalah, Al-Ghazali menyatakan bahwa hakikat
ibadah adalah mengikuti Nabi Muhammad Saw. Pada semua perintah dan larangannya.
Sesuatu yang bentuknya seperti ibadah, tapi diperbuat tanpa perintah, tidaklah
dapat disebut sebagai ibadah. Shalat dan puasa sekalipun hanya menjadi ibadah
bila dilaksanakan sesuai dengan petunjuk syara’. Melakukan shalat pada
waktu-waktu terlarang atau berpuasa pada pada hari raya, sama sekali tidak
menjadi ibadah, bahkan merupakan pelanggaran dan pembawa dosa. Jadi, jelaslah
bahwa ibadah yang hakiki itu adalah menjujung perintah, bukan semata-mata
melakukan shalat dan puasa, sebab shalat dan puasa itu akan menjadi ibadah bila
sesuai dengan yang diperintahkan.
Akan tetapi, sesungguhnya ibadah dengan pengertian yang
hakiki itu merupakan tujuan dari dirinya sendiri. Dengan melakukan ibadah,
manusia akan selalu tahu dan sadar bahwa betapa lemah dan hinanya mereka bila
berhadapan dengan kekuasaan Allah, sehingga ia menyadari benar-benar
kedudukannya sebagai hamba Allah. Jika hal ini benar-benar telah dihayati, maka
banyak manfaat yang akan diperolehnya. Misalnya saja surga yang dijanjikan,
tidak akan luput sebab Allah tidak akan menyalahi janjinya. Jadi, tujuan yang
hakiki dari ibadah adalah menghadapkan diri kepada Allah SWT dan menunggalkan-Nya
sebagai tumpuan harapan dalam segala hal.
Kesadaran akan keagungan Allah akan menimbulkan kesadaran
betapa hina dan rendahnya semua makhluk-Nya. Orang yang melakukan ibadah akan
merasa akan terbebas dari beberapa ikatan atau kungkungan makhluk. Semakin
besar ketergantungan dan harapan seseorang kepada Allah, semakin terbebaslah
dirinya dari yang selain-Nya. Harta, pangkat, kekuasaan dan sebagainya tidak
akan mempengaruhi kepribadiannya. Hatinya akan menjadi merdeka kecuali dari
Allah dalam arti sesungguhnya. Kemerdekaan sesungguhnya adalah kemerdekaan
hati.
2.5 Makna
Ibadah
Ibadah
adalah cinta dan ketundukan yang sempurna.
“Pada saat
kita mencintai, namun kita tidak tunduk kepada-Nya, maka kita belum menjadi
hamba-Nya. Dan pada saat kita tunduk kepada-Nya tanpa rasa ada rasa cinta, kita
pun belum menjadi hamba-Nya. Sampai kita menjadi orang yang mencintai dan
tunduk kepada-Nya.”
Kita harus menyertakan cinta kita kepada Allah di dalam
ibadah kita, meskipun pada hakikatnya cinta itu telah tertanam di
dalam jiwa setiap muslim. Jika tidak, dia belum beribadah kepada Allah. Maka
hendaknya dia menghadirkan cinta itu untuk meraih kenikmatan yang didambakan.
Area ibadah itu sangat luas hingga mencakup seluruh perilaku
yang dicintai Allah. Ibadah adalah suatu kata yang maknanya mencakup seluruh
perbuatan dan perkataan yang dicintai dan diridhai oleh Allah, baik yang
tersembunyi dan yang tampak. Jangan membatasi ibadah hanya seputar
syiar-syiar ta’abbudiyah (ibadah mahdhah) saja. Yaitu shalat, shaum,
haji dan shadaqah. Akan tetapi lebih dari itu, ibadah itu mencakup seluruh
perbuatan yang disebutma’ruf. Rasulullah bersabda,
“Setiap
perbuatan baik itu adalah shadaqah.”
`Di
antara perbuatan ma’ruf adalah berbuat baik di dalam masyarakat, menyelesaikan
pekerjaan mubah dengan sempurna dan berusaha mencari karunia Allah di muka
bumi. Bahkan area ibadah itu lebih banyak lagi daripada itu, seperti dengan
cara mengubah amalan yang mubah menjadi bernilai ibadah dengan menyertakan niat
yang baik di dalam amalnya. Sebagiamana Rasulullah bersabda,
“Niat
seorang mukmin itu lebih baik daripada amalannya.”
Setiap
amal untuk dunia dan akhirat yang kita kerjakan, pada hakikatnya semua adalah
untuk kepentingan akhirat.
2.6 Jalan agar Ibadah
dapat diterima oleh Allah
Ibadah dalam arti sebenarnya adalah takut dan tunduk sesuai
dengan syarat-syarat yang ditentukan oleh agama. Seseorang akan belum sempurna
ibadahnya, kalau hanya dilakukan lewat perbuatan saja, sedangkan perasaan
tunduk dan berhina diri itu belum bangkit dari hati. Bila ibadah yang
dikerjakan bukan karena Allah, hanya karena maksud lain misalnya saja hanya
ingin dilihat orang dan mendapatkan pujian, berarti ia telah mempersekutukan
Allah dan ibadah yang dikerjakannya akan ditolak oleh Allah. Agar ibadah kita
dapat diterima oleh Allah, kita harus memiliki sikap berikut :
Ikhlas, artinya hendaklah ibadah yang kita kerjakan itu bukan
karena mengharap pemberian dari Allah, tetapi semata-mata karena perintah dan
ridha-Nya. juga bukan karena mengharapkan surga dan jangan pula karena takut
kepada neraka. Karena surga dan neraka tidak dapat menyenangkan atau menyiksa
tanpa seizin Allah SWT.
Meninggalkan riya, artinya beribadah bukan karena malu kepada
manusia dan supaya dilihat oleh orang lain.
Bermuraqabah, artinya yakin bahwa Allah itu melihat dan
selalu ada disamping kita sehingga kita bersikap sopan kepada-Nya.
Jangan keluar dari waktunya, artinya mengerjakan ibadah dalam
waktu tertentu, sedapat mungkin dikerjakan di awal waktu.
2.7 Tanda-tanda
seseorang yang merasakan nikmatnya Ibadah
Kenikmatan
ibadah itu memiliki tanda-tanda sebagaimana firman Allah,
السُّجُودِ أَثَرِ مِنْ وُجُوهِهِمْ فِي مَاهُمْ سِي
“Tampak
pada muka mereka tanda-tanda bekas sujud” (QS. Al-Fath: 29)
Ini
menunjukan bahwa orang-orang yang mampu merasakan nikmatnya beribadah akan
membekas di wajahnya serta dalam tingkah laku dan kepekaannya.
Kemudian
tanda-tanda yang dapat dilihat dari seorang mukmin yang telah merasakan
kenikmatan ibadah adalah,
Bersegera
melakukan ketaatan
Pada saat
seorang mukmin bertemu dengan satu amalan ketaatan, apapun amalan tersebut, dia
akan bergegas untuk menyambutnya dengan rasa senang, baik amalan itu datang
ketika waktu shalat atau saat-saat menjelang bulan Ramadhan yang penuh berkah
atau ketika musim haji atau jihad fi sabilillah atau amalan-amalan shalih
lainnya.
Salah seorang pemuka tabi’in
bernama Said bin al-Musayyib berkata,
“selama
tiga puluh tahun aku telah berada di masjid sebelum muadzin mengumandangkan
adzan.”
Muhammad bin
Sima’ah at-Tamimi berkata, “selama empat puluh tahun aku belum pernah
tertinggal dari takbir pertama bersama imam kecuali pada hari ketika ibuku
meninggal.”
Salah
seorang sahabat bernama Abdullah bin Rawahah, apabila ingin keluar rumahnya dia
shalat dua rakaat. Apabila masuk rumah dia pun shalat dua rakaat dan beliau
tidak pernah meninggalkan kebiasaannya itu. Rasulullah pun memuji dirinya,
beliau bersabda,
“Semoga
Allah melimpahkan rahmat-Nya kepada saudaraku Abdullah bin Rawahah, dia selalu
menghentikan untanya di mana saja dia dapat mendapatkan waktu shalat itu telah
tiba”
Bukan hanya
dalam persoalan shalat. Di dalam semua jenis ketaatan kepada Allah yang lain
pun demikian. Seperti kisah yang tidak asing lagi, yaitu Abu Bakar dan Ummar
yang berlomba-lomba dalam melakukan kebaikan. Oleh karena itu, pada hakekatnya
setan setan itu sangat menginginkan seorang mukmin berlambat-lambat untuk
melakukan ketaatan.
Memanjangkan
shalat
Orang yang
merasakan nikmatnya ibadah, dia tidak merasakan bahwa waktu itu terus berlalu,
bahkan waktu yang panjang baginya terasa sesaat.
Dahulu Nabi
Muhammad SAW. Melakukan shalat malam dengan membaca surat al-Baqarah, Ali
Imran dan an-Nisa’ dalam satu rakaat. Beliau tidak merasakan panjangnya waktu
untuk berdiri dalam shalat karena sibuk menikmati lezatnya bermunajat.
Shalat itu
mempunyai bacaan yang mampu melupakanmu dari makanan dan melalaikanmu dari
perbekalan
Berpuasa secara
rutin
Sebagaimana
halnya seorang hamba yang senang menikmati ibadah dengan memanjangkan
shalatnya, dia pun senang melakukan puasa secara rutin. Selain menahan lapar
dan nafsu, dengan puasa juga akan memberikan vitamin kepada jiwa dan akan
mendekatkan diri kepada Dzat yang Maha Penguasa Yang Paling Tinggi.
Membaca
Al-Qur’an
Allah telah
mensifati orang-orang yang beriman ketika Al-Qur’an turun. Mereka adalah,
“Adapun
orang-orang yang beriman, maka surat ini menambah imannya, sedang mereka merasa
gembira.”(QS. at-Taubah: 124)
Mereka
merasa gembira karena ayat-ayat yang tercantum didalamnya merupakan kabar
gembira bagi mereka dan sebagai bentuk ancaman bagi musuh-musuh mereka. Didalam
ayat-ayat Al-Qur’an terdapat jawaban bagi permasalahan yang mereka hadapi dan
di dalamnya pun terdapat perkataan yang tidak bosan untuk di dengarkan.
Menyesal
ketika kehilangan kesempatan untuk melakukan ketaatan
Di antara
tanda-tanda seseorang merasakan kelezatan ibadah adalah apabila seorang mukmin
kehilangan kesempatan dalam melakukan kebaikan dia merasa sedih dan gelisah,
sehingga dia akan berusaha untuk tidak kehilangan kesempatan itu untuk kedua
kalinya. Dia merasa sedih karena orang lain telah mendahuluinya menuju seruan
Allah. sebagaimana sedihnya orang-orang kehilangan kesempatan untuk berjihad.
Rindu ingin
bertemu dengan Allah
Di antara
ciri-ciri orang yang merasakan kelezatan ibadah adalah dia merindukan pertemuan
dengan Dzat yang dia cintai. Dia merasakan tenteram mendengar dan membaca
kalam-Nya, tenteram dengan shalat, berjihad melawan hawa nafsunya, puasa
karena-Nya untuk mendapatkan derajat taqwa di sisi Allah. Akan tetapi karena
dia belum merasakan kegembiraan melihat-Nya dan dia selalu berdoa kepada Allah.
Sedangkan
cirri-ciri orang yang terhalang dari mendapatkan kenikmatan ibadah sebagai
berikut:
Mereka
merasa benci untuk melakukan ketaatan kepada Allah.
Apabila
mereka diajak berinfak dijalan Allah dengan harta yang nantinya akan kekal dan
akan kembali kepadanya dengan berlipat ganda, maka ia enggan menginfakkannya.
Sekalipun mereka menginfakkan harta mereka, mereka akan mengeluarkan harta yang
paling buruk.
Orang yang
terhalang dari kenikmatan beribadah akan tidur dan orang yang cinta kepada
Allah akan bangun untuk shalat.
Malas untuk
melakukan amal.
2.8 Sarana
meraih nikmatnya ibadah
Adapun
sarana untuk mencapai kenikmatan ibadah antara lain :
Ridha Allah
sebagai rabb yang diibadahi
Mereka ridha
kepada perintah dan takdir Allah, aturan dan hukum-Nya dan ridha kepada
penciptaan beserta hikmah-Nya. Cara untuk mendapatkan ridha-Nya adalah dengan
bertawakkal kepada-Nya, menunaikan perintah-Nya dan mengaku
kelemahan-kelemahan. Ridha lahir dari cinta. Barang siapa cinta kepada Allah,
dia akan merasakan kenikmatan ketika menjadi pelayan bagi Dzat yang dia cintai.
Ridha kepada
nabi Muhammad sebagai utusan Allah
Sebagai
halnya cinta kepada Allah, maka kita harus mencintai Rasul-Nya, Muhammad SAW.
Karena beliau manusia yang menyampaikan perintah dan larangan dari Allah dan
sebagai perantara yang akan menghantarkan manusia sampai kepada Allah. Cara
seseorang untuk ridha kepada Nabi adalah dengan mencintainya, tunduk dan
berhukum kepadanya.
Memperdalam
iman kepada hari akhir dan mengetahui hakikat dunia dan akhirat
Memupuk
keimanan pada hari akhir akan mendorong manusia untuk semangat dalam melakukan
pekerjaan.
Menjauhi
hal-hal yang menyebabkan hati membatu
Barang siapa
ingin meraih kenikmatan beribadah, hendaklah ia bersungguh-sungguh memacu diri
untuk menghindar dari dorongan hawa nafsu dan janji-janji yang semu.
Imam Ibn
Qayyim berkata:
“nafsu itu
akan mengajak kepada keburukan, mungkin disebabkan dia bodoh terhadap akibat
buruk yang akan timbul atau karena niat yang rusak atau pada saat tertentu
karena dua hal tersebut secara bersamaan”
Bersungguh-sungguh
Barang siapa
yang bersungguh-sungguh menundukkan hawa nafsunya untuk selalu taat, maka yang
demikian adalah pahala yang besar daripada amalan lainnya. Rasulullah bersabda,
“Sudikah
kalian aku tunjukkan kepada sesuatu yang menyebabkan Allah akan menghapus
kesalahan-kesalahan dan mengangkat kedudukannya dengan beberapa derajat?” para
sahabat menjawab,”Ya, wahai Rasulullah.” Lalu beliau bersabda:”sempurnakanlah
wudhu atas hal-hal yang di benci, perbanyaklah melangkahkan kaki menuju
masjid-masjid dan menunggu shalat wajib setelah shalat nafilah”
Berdoa
Merasa yakin
akan mendapatkan tujuan beribadah dan yakin akan berhasil
meraih kenikmatannya.
Menegetahui
bahwa ibadah itu bukan sekedar bentuk-bentuk yang harus ditunaikan, akan tetapi
ibadah adalah ruh.
Menjadikan
ibadah sebagai prioritas perhatian seseorang.
Memberikan
kesempatan istirahat kepada jiwa dan memberikan ketenteraman hati.
2.9 Jenis
ibadah
Ditinjau
dari jenisnya, ibadah dalam Islam terbagi menjadi dua jenis, dengan bentuk dan
sifat yang berbeda antara satu dengan lainnya:
Ibadah
Mahdhah, artinya penghambaan yang murni hanya merupakan hubungan
antara hamba dengan Allah secara langsung. Ibadah bentuk ini memiliki 4
prinsip:
Keberadaannya
harus berdasarkan adanya dalil perintah, baik dari al-Quran maupun al-
Sunnah, jadi merupakan otoritas wahyu, tidak boleh ditetapkan oleh akal atau
logika keberadaannya.
Tata caranya
harus berpola kepada contoh Rasulullah saw Salah satu tujuan diutus rasul
oleh Allah adalah untuk memberi contoh:
اللَّهِ بِإِذْنِ
لِيُطَاعَ إِلَّا رَسُولٍ مِنْ أَرْسَلْنَا وَمَا
“Dan kami
tidak mengutus seseorang Rasul melainkan untuk ditaati dengan seizin
Allah.” (QS. An-Nisa’: 64)
وَمَا آتَاكُمُ
الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانتَهُوا
“Dan apa
saja yang dibawakan Rasul kepada kamu maka ambillah, dan apa yang dilarang,
maka tinggalkanlah.” (QS. Al-Hasyr: 7)
Jika
melakukan ibadah bentuk ini tanpa dalil perintah atau tidak sesuai dengan
praktek Rasul saw., maka dikategorikan “Muhdatsatul umur” perkara mengada-ada,
yang populer disebutbid’ah. Salah satu penyebab hancurnya agama-agama yang
dibawa sebelum Muhammad saw. adalah karena kebanyakan kaumnya bertanya dan
menyalahi perintah Rasul-rasul mereka.
Bersifat
supra rasional (di atas jangkauan akal) artinya ibadah bentuk ini bukan
ukuran logika, karena bukan wilayah akal, melainkan wilayah wahyu, akal hanya
berfungsi memahami rahasia di baliknya yang disebut hikmah tasyri’.
Shalat, adzan, tilawatul Quran, dan ibadah mahdhah lainnya, keabsahannnya bukan
ditentukan oleh mengerti atau tidak, melainkan ditentukan apakah sesuai dengan
ketentuan syari’at, atau tidak. Atas dasar ini, maka ditetapkan oleh syarat dan
rukun yang ketat.
Azasnya
“taat”, yang dituntut dari hamba dalam melaksanakan ibadah ini adalah kepatuhan
atau ketaatan. Hamba wajib meyakini bahwa apa yang diperintahkan Allah
kepadanya, semata-mata untuk kepentingan dan kebahagiaan hamba, bukan untuk
Allah, dan salah satu misi utama diutus Rasul adalah untuk dipatuhi. Jenis
ibadah yang termasuk mahdhah, adalah: